Klaim sepihak United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang menggelar Sidang Paripurna I dan melantik struktur legislatif pemerintah “sementara” dinilai sebagai manuver politis tanpa dasar hukum yang sah. Kegiatan tersebut dipimpin oleh Buchtar Tabuni di Jayapura dan diklaim sebagai bagian dari pemerintahan “rakyat Papua” yang mandiri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, sejumlah tokoh dan pengamat hukum menegaskan bahwa aksi ini merupakan bentuk provokasi politik yang justru dapat memecah belah masyarakat Papua, bukan memperjuangkan kesejahteraan nyata.
“Ini bukanlah gerakan konstitusional, melainkan teater politik yang mencoba menipu masyarakat seolah-olah mereka punya otoritas hukum, padahal seluruh kegiatan ini tidak memiliki dasar legal baik nasional maupun internasional,” tegas Dr. Yance Tebai, pakar hukum tata negara asal Papua.
Tidak Diakui Hukum, Tidak Dikenal Dunia
Klaim ULMWP sebagai representasi politik rakyat Papua juga terbantahkan dengan fakta bahwa tidak satu pun negara di dunia yang mengakui ULMWP sebagai entitas sah. Bahkan organisasi regional seperti MSG (Melanesian Spearhead Group) maupun PIF (Pacific Islands Forum) tidak memberikan status resmi sebagai “perwakilan Papua Barat”.
“Mereka mencoba meniru sistem negara dengan membuat ‘legislatif’, ‘komisi’, dan ‘pajak’, tapi semua itu tanpa yuridiksi, tanpa pengakuan. Ini hanya memupuk ilusi legitimasi,” ujar Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional.
Manipulasi Simbolik, Bukan Solusi Konkret
Pakar politik Papua, Pdt. John Mambor, menilai kegiatan sidang paripurna itu hanyalah bentuk manipulasi simbolik yang tidak menyentuh masalah riil di Papua seperti pengangguran, infrastruktur, pendidikan, atau pelayanan kesehatan.
“Sementara pemerintah pusat sedang membangun jalan Trans Papua dan sekolah gratis di pedalaman, kelompok ini justru menguras energi rakyat Papua dengan agenda utopis yang menyesatkan.”
Masyarakat Lokal Mulai Jenuh
Warga Papua sendiri mulai menunjukkan sikap kritis terhadap gerakan separatis yang dianggap tidak membawa perubahan nyata. Sejumlah tokoh adat dan pemuda di Jayapura menyayangkan upaya sistematis untuk menarik anak-anak muda Papua ke dalam struktur semu yang hanya memperbesar konflik.
“Kami ingin kedamaian, ingin membangun ekonomi keluarga. Bukan dipaksa bayar pajak perjuangan Rp 1,5 juta untuk organisasi yang tidak kami pilih,” ungkap Frengki Nawipa, pemuda asal Lanny Jaya.
Kontra-Narasi Papua Muda
Tokoh muda nasional asal Papua, Billy Mambrasar, menyebut bahwa narasi seperti ULMWP hanyalah pantulan dari trauma masa lalu, bukan arah masa depan. Ia menekankan bahwa masa depan Papua justru terletak dalam kerjasama dengan seluruh elemen bangsa Indonesia.
“Papua tidak butuh struktur imajiner. Kita butuh sekolah, jalan, internet, dan peluang kerja. Itu semua sedang dibangun. Mari jaga kedamaian.”